Pj Bupati Aceh Tenggara Drs. Syakir, M.Si Terancam Sangsi Adat Di Tanoh Alas Metuah

Aceh Tenggara | silet-news.com ~~ Degradasi moral adalah permasalahan serius dewasa ini di Kabupaten Aceh Tenggara. Berbagai kasus dan permasalahan yang terjadi menunjukkan bahwa moralitas di Bumi Sepakat Segenep ini sedang berada di titik nadir. Pelakunya pun dari berbagai golongan dan kasta. Pemegang kekuasaan terjerumus dalam praktik nepotisme sesama almamater yang sangat merusak tatanan malah dipertontonkan. Belum lagi generasi muda yang saat ini sibuk dengan dunianya yang terkadang jauh dari sumbangan manfaat bagi kehidupan.Arus globalisasi yang menyusup ke suatu daerah yang beradat, baik melalui internet, terkadang kebijakan yang menjadikan warga dari luar daerah menjadi pemimpin di daerah beradat, jelas dapat menggerus nilai kepercayaan suatu kelompok. Akan tetapi, kerap menimbulkan konflik bagi masyarakat yang memegang teguh prinsip, norma dan adat. Sejatinya, dalam setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai kearifan lokal sebagai hasil warisan generik dari generasi sebelumnya yang sebenarnya dapat dijadikan tuntunan dalam berkehidupan serta benteng filtrasi kebudayaan luar.Nilai-nilai kearifan lokal tersebut menjadi penyangga yang kemudian hadir sebagai alat kontrol sosial. Akan tetapi, seiring mulai memudarnya perhatian pada kearifan lokal, maka nilai-nilai luhur itu pun mulai terlupakan. Benang merah dari berbagai persoalan tersebut adalah dimensi moralitas yang sudah dianggap tidak lagi penting.Dalam masyarakat suku Alas di Kabupaten Aceh Tenggara, terdapat tiga konsep dasar utama yang mengandung nilai kearifan lokal. Jika seseorang mau memahami dan menjalankan tiga konsep dasar ini, maka erosi moral dapat diminamilisir.Sebagaimana yang dijelaskan oleh (Dr. H Thalib Akbar, MSc. 2014) Aceh Anthropological Journal, tiga konsep ini adalah : Pertama, Tulahan; Tulahan bermakna kemalangan yang menimpa seseorang sebagai akibat kutukan dari Tuhan karena melakukan sesuatu yang salah;Kedua, Pantang; Pantangan atau larangan dalam adat istiadat yang tidak boleh dilakukan;Ketiga, Kemali; Kemali berkaitan dengan hal-hal tabu yang tidak boleh dilakukan atau dibicarakan dalam masyarakat.“Nggeluh Ni Kandung Adat, Maté Ni Kandung Hukum.” Pepatah adat Alas ini mengisyaratkan bahwa “Ketika hidup mengikuti Adat yang Berlaku, ketika mati dikandung hukum.” Artinya, selama nyawa masih dikandung badan, maka kehidupan seseorang tidak bisa lepas dari konstruksi adat setempat yang dipenuhi dengan nilai-nilai budaya.Menurut H. M. Yacob Pagan (1999): Terjadinya tatanan adat, dulunya dari petuah adat Alas bahwa “cibhit dhikhimu kane cibhit kalak,” artinya cubit diri mu terlebih dahulu, bila enak, baru cubit orang lain, kalau cubitan itu sakit, maka jangan dilakukan kepada orang lain. Maksudnya sesuatu itu boleh kita lakukan kepada orang lain apabila sesuatu itu juga enak dan kita senang bila dilakukan orang lain kepada kita sendiri, yang begini ini dikenal dengan nama pelengakhi (hukum timbal balik atau hukum kausalitas).Ini aturan adat atau hukum adat di Tanah Alas yang berlandaskan adegium adat “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung” dengan landasan yuridisnya Undang Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh (meliputi keistimewaan Aceh bidang Adat, Syariah, Peran Ulama dalam pembangunan, dan Pendidikan), Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Majelis Adat Aceh, Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat yang mewajibkan siapa saja hidup di bumi Aceh pada umumnya dan Aceh Tenggara pada khususnya wajib menurut hukum Negara Indonesia tunduk kepada hukum adat Aceh-Alas dalam penyelesaian perselisihan/sengketa 18 macam adat dan adat istiadat daerah di Aceh Tenggara.Didalam Peraturan Majlis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Tenggara Nomor 1 Tahun 2023 yang ditandatangani oleh Ketua MAA Dr.H. Thalib Akbar, MSc pada tanggal 23 Mei 2023 menyatakan, denda adat adalah: 4, 8, 16, 32, dan 64: setiap tingkat denda ini ada sisesampunene, sisentengahne, sisentuene yang wajib ditanggung.Ketua MAA Kabupaten Aceh Tenggara ketika di konfirmasi awak media ini, Rabu 29/11/2023 sekira pukul 18.50 Wib terkait permasalahan yang dialami oleh sesepuh dan mantan Bupati Aceh Tenggara dua priode H.Syahbudin BP, pakah Pj Bupati Aceh Tenggara Drs.Syakir, M.Si bisa dikenai sangsi adat. Dr.H.Thalib Akbar, MSc menjelaskan, yang penting Pak Syahbudin BP atau salah satu para mantan Bupati atau mantan Wakil Bupati merasa keberatan atas prilaku tidak terpuji itu, sehingga ada sengketa/konflik/perselisihan. Kalau sampai ada yang keberatan salah satu saja diantara mereka dan berkenan melaporkannya kepada MAA, maka harus dibuat Berita Acara Pakat Adat (BAPA), Pj Bupati Syakir bisa kena Adat 64. Kalau bisa sidangnya digelar di depan umum.Siapapun yang tinggal di Aceh ini, maka harus mengikuti Adat sesuai Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 itu tandanya bermoral terhadap Bupati senior, sebut Dr.H Thalib Akbar, MSc mengakhiri.Ditempat terpisah, mantan Bupati Aceh Tenggara yang juga sesepuh di Bumi Sepakat Segenep serta Tokoh Pejuang Provinsi Aceh Leuser Antara (Prov ALA) pada saat dikonfirmasi media ini melalui pesan WhatsApp pada hari Rabu 29/11/2023, ditanya apakah setuju jika Pj Bupati Syakir dikenai sangsi Adat, Drs.H. Armen Desky, MM mengatakan, saya sangat setuju dan ini saya mau pulang.dari luar kota, kami para mantan Bupati dan para Pemangku Adat lainnya akan mengadakan rapat untuk memberi sangsi Adat kepada Pj Bupati Syakir yang kurang sopan dan tidak paham Adat ini, sebutnya.Lebih lanjut Bung Armen Desky menambahkan, kalau saya yang dibauatnya seperti itu, sudah saya tendang pintunya. Pj Bupati Syakir memang harus di nasehati dan ini tahun politik, kalau caranya begini pasti nanti akan ribut karena tidak ada kebijaksanaan, pungkas Tokoh Pejuang ALA itu mengakhiri. [Amri Sinulingga]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *